Oleh: Naharuddin

Sibowi di Tanambulava adalah sebait puisi alam yang diciptakan Sang Maha Pencipta: hutan tropis yang menyimpan rahasia kehidupan, sungai yang mengalirkan cerita peradaban, serta tanah yang menghidupi petani dan pekebun di sekitarnya. Namun, pada bait yang lain, ia juga memendam luka.

Luka itu bernama Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) seluas 0,5 ha atau 5.000 m2, dengan ketinggian 350 mdpl dengan kemiringan lebih dari 45 derajat (lereng yang sangat curam).

Di balik gemerincing emas yang dijanjikan, hutan-hutan ditebang, tanah dicangkul tanpa henti, dan sungai-sungai disiram oleh bahan cemaran merkuri. Aktivitas itu bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan pelanggaran moral terhadap bumi yang menopang kehidupan. Tidak heran bila kemudian bumi berbalik memberi tanda: banjir bandang, longsor, serta kerentanan hidrometeorologi yang semakin mengancam warga.

Maka, ketika Pemerintah Kabupaten Sigi mengambil keputusan menutup aktivitas PETI di Sibowi Tanambulava, itu bukan sekadar kebijakan administratif, tetapi sebuah lonceng darurat yang berbunyi lantang: “Alam sudah terlalu lama disakiti, kini saatnya kita berbenah.”

Hutan yang Hilang, Bencana yang Datang

Dalam ilmu hidrologi, hutan ibarat payung besar yang menahan deras hujan. Pepohonan dengan akar yang menancap dalam menjaga agar air tidak langsung menerjang permukaan tanah. Rerimbunan daun memperlambat jatuhnya butir hujan, sementara serasah di lantai hutan menyerap dan menahan air, lalu mengalirkannya perlahan ke sungai melalui proses infiltrasi.

Namun, apa jadinya bila hutan itu hilang? Tanah terbuka telanjang, hujan turun tanpa penghalang, air berlari liar ke hilir membawa serta tanah, batu, bahkan rumah-rumah yang dilewatinya. Inilah wajah bencana hidrometeorologi yang kerap menimpa Kabupaten Sigi: banjir, longsor, dan sedimentasi yang membuat sungai dangkal.

PETI di Sibowi Tanambulava telah membuka luka itu lebar-lebar. Lereng yang dikupas tanpa perhitungan, lubang galian yang menganga tanpa reklamasi, serta bahan kimia tambang yang mencemari air sungai, semuanya menjadi detonator bencana. Hujan yang mestinya berkah berubah menjadi malapetaka.

Keputusan yang Mengandung Harapan

Langkah Pemkab Sigi menutup aktivitas PETI adalah langkah berani sekaligus bijak. Keputusan itu seakan menegaskan bahwa kesejahteraan jangka pendek tidak boleh dibayar dengan penderitaan jangka panjang.

Tutupnya PETI memberi peluang bagi alam untuk bernapas kembali. Sungai sebagai bagian ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) bisa kembali jernih, hutan punya kesempatan untuk tumbuh, dan masyarakat bisa terhindar dari risiko bencana. Namun, penutupan ini bukanlah akhir dari cerita, ia justru sebuah pintu pembuka menuju transformasi tata kelola DAS beserta sumber daya alam lainnya yang lebih adil dan berkelanjutan.

Keberanian ini harus diiringi dengan keberlanjutan. Pemerintah tidak boleh hanya menutup tambang, lalu meninggalkan masyarakat yang selama ini menggantungkan hidup dari PETI. Dibutuhkan alternatif mata pencaharian yang ramah lingkungan, seperti agroforestri, pertanian organik, atau usaha perkebunan yang memanfaatkan potensi lokal. Dengan begitu, keputusan ini tidak hanya menjadi larangan, tetapi juga undangan menuju masa depan yang lebih hijau.

Jejak Bencana dan Ingatan Kolektif

Sigi adalah daerah yang punya memori panjang soal bencana. Gempa bumi, likuefaksi, banjir, dan longsor telah menjadi bagian dari narasi kolektif warganya. Ingatan ini seharusnya menjadi guru, bukan sekadar trauma.

Aktivitas PETI menambah lapisan baru dari risiko itu. Bayangkan jika hujan lebat mengguyur lereng Sibowi yang sudah terkupas: tanah yang rapuh mudah longsor, material tambang terbawa air, sungai meluap, dan rumah-rumah hanyut terbawa arus. Itulah gambaran nyata hubungan antara PETI dan bencana hidrometeorologi.

Keputusan menutup PETI adalah upaya mengikat kembali ingatan kolektif masyarakat: bahwa keselamatan jiwa jauh lebih berharga daripada butiran emas. Bahwa anak cucu berhak mewarisi tanah yang subur, bukan tanah yang sakit karena digerogoti rakusnya manusia.

Menyulam Harapan di Tengah Luka

Kini, setelah penutupan dilakukan, tantangan berikutnya adalah menyulam harapan dari luka yang telah terbuka. Pemerintah bersama masyarakat harus bahu-membahu melakukan rehabilitasi hutan dan lahan khususnya di DAS. Program konservasi tanah dan air mesti digalakkan, bukan sekadar slogan, tetapi gerakan nyata di lapangan.

Lebih jauh, perlu ada edukasi publik bahwa bencana bukanlah takdir semata, melainkan hasil dari interaksi manusia dengan alam. Jika alam dirusak, bencana adalah konsekuensi. Namun jika alam dijaga, berkah akan kembali mengalir.

Bayangkan Sibowi Tanambulava dengan wajah baru: hutan yang kembali rimbun, sungai yang mengalir bening, sawah yang hijau, serta masyarakat yang hidup sejahtera tanpa harus menggali emas dari perut bumi secara liar. Bukankah itu masa depan yang layak diperjuangkan?

Penutup: Menjawab Panggilan Zaman

Keputusan Pemkab Sigi menutup PETI di Sibowi Tanambulava adalah jawaban atas panggilan zaman. Di tengah krisis iklim global, setiap kebijakan lokal punya gema yang jauh melampaui batas wilayahnya. Penutupan ini adalah pesan moral: bahwa keberanian untuk mengatakan “cukup” terhadap perusakan alam adalah langkah pertama menuju peradaban yang lebih bijak.

Jika langkah ini konsisten, Sigi bisa menjadi contoh bagi daerah lain: bahwa melawan PETI bukanlah sekadar menegakkan hukum, tetapi juga menjaga denyut nadi kehidupan, menolak bencana, dan merajut kembali harmoni antara manusia dan alam.

Sibowi Tanambulava pernah terluka, tetapi luka itu bisa disembuhkan. Yang dibutuhkan hanyalah kesungguhan, kebersamaan, dan keyakinan bahwa masa depan tidak ditentukan oleh emas yang digali dari bumi, melainkan oleh emas yang tumbuh di hati: keberanian, kearifan, dan kasih sayang pada alam.

Penulis adalah dosen Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako dan Ketua Forum Koordinasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Sulawesi Tengah