Yogi Prasetyo Nugroho
Kebijakan proteksionisme ekonomi kembali mencuat ke permukaan seiring dengan terpilihnya kembali Donald J. Trump sebagai Presiden Amerika Serikat pada tahun 2025. Salah satu kebijakan kunci yang diperkirakan akan kembali diberlakukan adalah pengenaan tarif impor terhadap berbagai negara mitra dagang AS, seperti Tiongkok, Meksiko, dan bahkan negara-negara sekutu di Eropa. Langkah ini, yang telah menjadi ciri khas kebijakan ekonomi Trump pada masa jabatan pertamanya (2017–2021), dinilai sebagai upaya untuk melindungi industri domestik dan memperbaiki defisit perdagangan AS. Namun, kebijakan tersebut juga memicu ketegangan dagang yang luas dan menimbulkan dampak sistemik terhadap perekonomian global.
Tarif impor yang diberlakukan oleh AS tidak hanya memicu balasan dari negara-negara lain dalam bentuk tarif serupa, tetapi juga menciptakan ketidakpastian dalam perdagangan internasional, investasi global, dan pertumbuhan ekonomi dunia. Negara-negara berkembang seperti Indonesia, meskipun tidak secara langsung menjadi sasaran tarif, tetap terkena imbasnya melalui jalur perdagangan, nilai tukar, dan harga komoditas global. Ketika ekspektasi pertumbuhan global menurun akibat konflik dagang, permintaan terhadap ekspor Indonesia juga melemah, yang pada gilirannya berpengaruh pada penerimaan negara dari sektor perdagangan internasional.
Analisis terhadap implikasi kebijakan tarif impor AS di bawah kepemimpinan Trump yang kedua menjadi relevan dalam konteks kestabilan fiskal Indonesia. APBN sebagai instrumen utama pembangunan nasional sangat bergantung pada penerimaan negara, terutama dari pajak dan bea keluar yang berkaitan erat dengan aktivitas ekspor-impor. Oleh sebab itu, penting untuk mengkaji bagaimana gelombang proteksionisme global dapat berdampak secara tidak langsung terhadap struktur dan ketahanan fiskal Indonesia.
Dampak Tarif Impor AS terhadap Ekonomi Global