Oleh: Umi Kalsum, Tri Mayang Amita, dan Lisdiawati*
Tuberkulosis (TB) dan Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah dua penyakit infeksi yang saling berkaitan dan sering ditemukan bersamaan pada seorang pasien. Infeksi HIV melemahkan sistem kekebalan tubuh, sehingga meningkatkan risiko seseorang untuk terkena tuberkulosis. Di sisi lain, tuberkulosis adalah penyebab utama kematian pada penderita HIV/AIDS di seluruh dunia. Kombinasi kedua penyakit ini menjadi tantangan besar dalam diagnosis, pengobatan, dan pencegahan.
Salah satu tantangan utama dalam pengobatan pasien dengan TB-HIV adalah interaksi obat. Obat antiretroviral (ARV) yang digunakan untuk mengendalikan HIV dapat berinteraksi dengan obat anti-TB seperti rifampisin, sehingga mengurangi efektivitas atau meningkatkan efek samping. Selain itu, kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan menjadi lebih sulit karena jumlah obat yang harus dikonsumsi semakin banyak, dengan durasi terapi yang panjang.
Dari sisi kesehatan masyarakat, TB-HIV juga menjadi ancaman serius. Penyakit ini sering kali menyerang kelompok rentan seperti masyarakat berpenghasilan rendah dengan akses terbatas ke layanan kesehatan. Keterlambatan diagnosis dan pengobatan tidak hanya meningkatkan angka kematian, tetapi juga mempercepat penyebaran penyakit di masyarakat.
Oleh karena itu, pendekatan pengobatan yang terpadu dan berkelanjutan sangat diperlukan. Pemerintah dan tenaga kesehatan harus memastikan adanya sistem deteksi dini yang efektif, akses luas terhadap pengobatan, serta edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya kepatuhan dalam terapi. Jika tidak ditangani dengan baik, tantangan ganda TB dan HIV dapat terus menjadi beban kesehatan global yang sulit diatasi.
Di Indonesia, upaya penanggulangan pasien TB-HIV dilakukan melalui berbagai program pemerintah dan kerja sama dengan lembaga kesehatan. Beberapa langkah utama yang telah diterapkan meliput Program Kolaborasi TB-HIV, Penyediaan Obat Gratis, Skrining dan Diagnosis Massal, Pelatihan Tenaga Medis, Dukungan Sosial dan Psikologis, dan Kampanye Kesadaran Masyarakat.
Kasus Tuberkulosis dan HIV/AIDS masih menjadi masalah kesehatan global dan nasional, tak terkecuali di Provinsi Sulawesi Tengah. Dalam pencegahan dan penanganannya, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah terus berupaya memberikan pelayanan yang terbaik bagi pasien penderita Tuberkulosis yang mengidap HIV/AIDS sebagai penyakit penyerta.
Untuk di Provinsi Sulawesi Tengah Pada tahun 2023 temuan Kasus HIV sebanyak 696 kasus. Provinsi Sulawesi Tengah telah memiliki 25 layanan Perawatan, Dukungan dan Pengobatan (PDP) atau Care Support Treatment (CST) yang tersebar di 13 Kabupaten/Kota untuk memudahkan ODHIV dalam mengakses pengobatan, yang berdampak pada meningkatnya angka HIV on ARV. (Profil Dinkes, Sulawesi Tengah 2023)
Di Sulawesi Tengah program TBC telah dilaksanakan secara strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short Course) sejak tahun 1995. Inovasi dan akselerasi program dilakukan setiap tahunnya. Sulawesi Tengah juga telah melakukan kerjasama lintas program seperti Kolaborasi TBC HIV.
Capaian penemuan kasus TBC Kabupaten/Kota tahun 2023. Terlihat Kabupaten Morowali dengan capaian tertinggi yaitu 140%. Kegiatan yang mendukung capaian di Kabupaten Morowali yaitu komitmen Kepala daerah dalam program P2TB terlihat dari evaluasi capaian program yang rutin dilakukan dan ditindaklanjuti, serta banyaknya kasus TBC yang ditemukan dari pekerja pendatang yang berasal dari luar wilayah Kabupaten Morowali. Selanjutnya capaian Kota Palu didukung oleh LSM Penabulu yang memberdayakan kader kesehatan untuk penemuan aktif kasus TBC khususnya di wilayah Kota Palu. Kemudian capaian Kabupaten Banggai didukung oleh kegiatan Inovasi yaitu Keping TBC (Ketuk Pintu Temukan Kasus TBC). (Profil Dinkes, Sulawesi Tengah 2023)
TB dan HIV adalah kombinasi penyakit yang berbahaya dan saling memperburuk kondisi pasien. Pengobatan pasien TB-HIV menghadapi berbagai tantangan, mulai dari interaksi obat, rendahnya kepatuhan pasien, hingga keterlambatan diagnosis. Oleh karena itu, upaya pencegahan, deteksi dini, serta pengobatan yang terpadu menjadi sangat penting untuk mengurangi beban penyakit ini di masyarakat.
Diperlukan kerja sama antara pemerintah, tenaga kesehatan, serta masyarakat untuk memastikan bahwa pasien mendapatkan layanan medis yang tepat dan terjangkau. Dengan strategi yang komprehensif, diharapkan angka kasus TB-HIV dapat ditekan, meningkatkan kualitas hidup pasien, serta mengurangi penyebaran kedua penyakit ini di masa depan.
*) Penulis adalah Mahasiswi Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Palu