SULTENG RAYA- Ratusan peserta didik SMKN 2 Palu Kelas X melakukan aksi demonstrasi ke DPRD Provinsi Sulawesi Tengah, menuntut agar kepala sekolahnya dipecat dari jabatnya, karena dinilai melakukan pengutan di sekolah melalui skema kursus bahasa Inggris.
Aksi ratusan siswa itu diikuti sejumlah guru, alumni, dan orang tua peserta didik dan diterima oleh anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tengah yakni Hidayat Pakamundi (Demokrat), I Nyoman Slamet (PDIP), dan Marselinus (Perindo), didampingi Sekretarsi Dinas Pendidikan Sulteng, Asrul, dan Kabid SMK Dinas Pendidikan Sulteng, Zulfikar Is Paudi.
Para siswa ini mengaku dipaksa dan diwajibkan mengikuti kursus bahasa Inggris dengan biaya sebesar Rp250 ribu persiswa perbulan. Jika tidak mengikuti kursus diancam mata pelajaran bahasa Inggrisnya tidak lulus.
Kursus bahasa Inggris ini di luar mata pelajaran bahasa Inggris yang disediakan sekolah, namun dilaksanakan di jam sekolah dan juga di lingkungan sekolah yang melibatkan lembaga kursus bahasa Inggris. Imbasnya tidak hanya peserta didik yang mengeluh, namun juga sejumlah guru mata pelajaran karena merasa jam mengajarnya berkurang dan bergeser.
Diantaranya adalah seorang Guru Mata Pelajaran Agama, H. Moh. Dalil, S.Ag., MA, mengaku jam mengajarnya berkurang dan bergeser karena diambil jamnya oleh lembaga kursus bahasa Inggris. Bahkan jam mengajarnya diberikan di jam-jam saat orang Salat Ashar. “Itu sangat mengganggu proses belajar mengajar,”sebutnya, Kamis (24/10/2024).
Selain itu, Ia juga mengaku mendapatkan diskriminasi dari kepala sekolah dengan cara tidak menandatangani sertifikasinya selama tiga bulan, hanya kerena melaksanakan umroh ke tanah suci, sementara itu adalah haknya sebagai seorang pendidik dari negara. Akibatnya selama itu juga dia tidak menerima dana sertifikasi.
Hal yang sama diutarakan oleh Drs. Moh. Baso, mengaku sangat terganggu dengan adanya kursus bahasa Inggris itu, karena selain menggunakan fasilitas negara juga dilaksanakan di jam-jam sekolah yang semestinya lebih diproritaskan mata pelajaran yang disediakan oleh sekolah.
Tidak hanya itu, Ia juga menuturkan persoalan kantin, katanya di kantin sekolah ada pengutan Rp15 ribu perhari untuk setiap pengelolah kantin, pungutan ini juga berlaku bagi pedagang yang menitipkan barangnya di kantin atas nama kesejahteraan guru. “Tapi kenyataannya kita tidak tau itu uang digunakan untuk apa,”sebut Baso.
Di tempat yang sama, perwakilan orang tua peserta didik, Ira, pada dasarnya Ia menilai bagus dengan adanya kursus bahasa Inggris itu, karena ini adalah bagian dari upaya sekolah mendorong peserta didiknya bisa berhubungan dengan global melalui bahasa Inggris.
Namun di sekolah itu sudah ada pendidikan bahasa inggris secara formal yang diajarkan di kelas. Olehnya kursus bahasa inggris ini harusnya sifatnya opsional, bukan hal wajib bagi setiap peserta didik. Apa lagi bagi perserta didik yang sudah menjadi penutur aktif bahasa Inggris. “Anak saya itu sudah menjadi penutur bahasa Inggris aktif, tapi karena ini adalah wajib, maka anak saya juga terpaksa mengikuti program ini,”sebutnya.
Ira juga mengaku jika sebelumnya tidak ada kesepakatan antara orang tua peserta didik dengan pihak sekolah terkait kursus bahasa Inggris ini. “Pertemuan sebelumnya dengan orang tua siswa tidak ada kesepakatan menyutujui kursus itu,”ujarnya.
Perwakilan orang tua lainnya, Imam mengatakan hal yang sama, jika tidak ada kesepakatan sebelumnya antara orang tua peserta didik dengan pihak sekolah, yang ada hanyalah sosialisasi itupun hanya sekali, itupun sebelum pengumuman kelulusan. “Jika ada yang mengatakan ada kesepakatan, itu tidak benar,”sebut Imam.
Namun kata Imam, saat pendaftaran ulang sudah ada meja pendaftaran kursus bahasa Inggris yang juga harus didatangi oleh orang tua peserta didik.
Atas kondisi tersebut, DPRD Provinsi Sulawesi Tengah melalui I Nyoman Slamet menyerahkan kepada Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Tengah melakukan langkah-langkah penanganan untuk menyelesaikan persoalan tersebut melalui tim yang telah dibentuk.
Asrul selaku Sekretaris Dinas Pendidikan meminta diberikan waktu untuk bekerja bersama timnya yang terdiri dari Sekretaris Dinas Pendidikan, Kabid SMK, dan Kacapdis untuk menulusuri persoalan ini.
“Berikan kami waktu, kami di sini tidak membela dan menyalahkan siapa-siapa, kami memastikan objektif,”sebut Asrul.
Untuk sementara waktu, Asrul meminta Kepala SMKN 2 Palu, Loddy Surentu agar kursus bahasa Inggris tersebut dihentikan sampai ada hasil dari tim yang dibentuk oleh Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Tengah. ENG