RAYA- Perayaan 100 Tahun A.A. Navis dilaksanakan serentak di seluruh , termasuk Sulawesi Tengah. Balai Bahasa Sulawesi Tengah sebagai salah satu UPTD kementerian melaksanakan bedah buku karya fenomenal AA Navis berjudul  “Robohnya Surau Kami”.

Ali Akbar Navis (AA Navis) sendiri adalah seorang sastrawan terkemuka Indonesia, berasal dari Sumatera Barat, yang karya-karyanya sangat menginspirasi banyak orang, tidak hanya dalam negeri, tetapi bahkan hingga para penikmat sastra dunia. Salah satu karya sastra A.A. Navis ialah “Robohnya Surau Kami” yang terbit pada tahun 1956.

Dalam bedah buku itu, Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Tengah menghadirkan dua pembahas yakni Dr. Agustan T Syam seorang akademisi dan Sastrawan dan Neni Muhidin seorang budayawan dan sastrawan.

Sekaligus menghadirkan peserta terdiri dari para sastrawan, budayawan, seniman, akademisi, guru, , serta pelajar tingkat SMA//MA, dilaksanakan di salah satu hotel di Kota , Rabu (23/10/2024).

Agustan T Syam dalam pembahasannya mengatakan bahwa cerpen “Robohnya Surau Kami” adalah cerpen yang mengajak pembaca untuk merenungkan kembali pemahaman tentang agama dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.  Sekaligus cerpen ini mengandung kemanusiaan, kasih, dan menggambarkan fenomena beribadah di zaman ini. “Cerpen ini menyampaikan pesan moral mengenai keseimbangan dalam menjalankan kehidupan dunia dan memenuhi tuntutan akhirat,”jelas Agustan.

Agustan juga menilai dalam cerpen ini, AA Navis mengecoh imajinasi pembaca yang berada pada ruang realitas kelaziman, dengan menciptakan suasana jebakan imajinasi metasastra yang melampaui pikiran pembaca, melalui seorang penjaga surau yang taat beribadah, namun akhirnya bunuh diri setelah mendengarkan cerita dari Ajo Sidi seorang tukang pembual  tentang kisah Saleh yang berakhir tragis, meskipun Haji Saleh merasa kehidupannya sudah berada di jalan yang benar.

Kata Agustan, AA Navis di sini seperti ingin mengingatkan pembaca yang seringkali berpuas diri dalam beribadah, tapi sesungguhnya lupa memaknai ibadah itu sendiri. Rajin salat, mengaji, dan kegiatan ritual keagamaan lainnya karena takut masuk neraka. Menginginkan pahala dan keselamatan hanya untuk diri sendiri. Melupakan kebutuhan orang lain, bahkan kerap merasa diri tidak berdosa dan bersalah ketika mengambil hak orang lain, menyakiti perasaan sesama atau bahkan melakukan ketidak jujuran dan kemaksiatan di muka bumi.

“Keinginan pengarang (AA Navis) itu pelompatan imajiner, fantasi bahkan emosional subjektif, untuk mengubahke hal yang tidak biasa,”jelas Agustan.

Sementara pembahas kedua,  Neni Muhidin mengkritisi masyarakat dan saat ini yang sudah jarang membaca buku-buku karya sastra apa lagi karya sastra lokal seperti karya Masyudin Masyuda.  “Ini bukan kesalahan anak-anak kita, tapi sistem pendidikan kita yang seperti itu,”sebutnya. ENG