Oleh: Muhd Nur SANG ADJI***

SULTENG RAYA – Sesungguhnya saya tidak terlalu tertarik membahas soal sepakbola Israel ini karena debat politiknya terlalu tajam.  Debat politik sering mengandalkan semangat kalah menang. Seperti sepak bola itu sendiri. Meskipun selalu diingatkan tentang “fair play”.

Tapi,  saya merasa perlu menulis setelah menonton Vidio pendek dengan narasi menohok. Si pembuat vidio itu bikin kalimat ini ; “kalian mendukung mimpi anak pelestina, tapi mengubur mimpi anak negeri sendiri. Kalian adalah penjajah untuk negeri kalian sendiri”.

Saya merasa si  pembuat Vidio ini telah bertindak ceroboh dalam membuat perbandingan yang tidak pas (un comparable). Sebuah perbandingan antara langit dan bumi. Perbandingan yang kurang bermartabat, sekaligus tidak berperikemanusiaan. Nampak benar “A historis”. Apalagi diberi embel-embel kategori sebagai penjajah.

Mimpi anak-anak kita adalah juara sepak bola. Tapi, mimpi anak-anak Palestina adalah soal kemerdekaan. Soal mati  hidup manusia. Itu adalah sesuatu yang diimpikan anak-anak Indonesia dengan generasi berganti-ganti selama 350 tahun. Ada ribuan jasad terkubur di seantero Nusantara akibat penjajahan itu.   Dan, ketika kita menyatakan merdeka. Negara yang pertama kali mengakuinya (international recognition reguirement) adalah Palestina.

Perlu diketahui bahwa para pemain  kesebelasan Israel saat ini pun terdiri dari multi agama. Termasuk ada beberapa yang beragama Islam. Begitu pun bangsa Palestina yang dihuni berbagai agama. Negara Israel sendiri tidak berisi orang Jahudi semua. Ada multi agama di sana.  Jadi, ini bukan soal keyakinan agama tertentu. Ini soal, kebijakan, komitmen, konsistensi dan prinsip satu bangsa. Juga soal diskriminasi dan ketidak adilan.

Coba lihat apa kebijakan yang dibuat FIFA terhadap Rusia yg menginvasi Ukraina. Berbeda dengan kebijakan FIFA terhadap Israel yang bukan cuma Invasi tapi mencaplok Palestina selama ini. Sanksi dari FIFA sendiri atas invasi tersebut,  bukan cuma timnas mereka yang dilarang tampil. Namun juga,  semua klub negara beruang merah itu.

Bahkan, tak hanya FIFA yang menjatuhkan sanksi kepada Rusia dari seluruh kompetisi sepakbola, baik level klub maupun timnas.  Komite Olimpiade Dunia (IOC) juga menerapkan hukuman yang sama kepada seluruh atlet dari Rusia. Hukuman itu dikeluarkan, nyata  sebagai imbas dari serangan militer Rusia kepada Ukraina sejak akhir Februari 2022 lalu.

Terlepas dari polemik yang amat politis ini. Indonesia juga tidak memiliki hubungan diplomatik dengan negara Israel. Apakah karena itu, lalu atlet  olahraga pun tidak boleh masuk..? Biarlah ahli hukum tata negara  yang memberikan fatwa. Kita hanya melihat di sisi yang nampak saja.

Dan, khabarnya pada cabang olahraga lain di Indonesia, atlet Israel pernah ikut. Begitupun pada pertemuan Mondial di Bali. Ada utusan Israel yang hadir. Bahkan, bencana Aceh yang lalu. Bantuan negara Israel dengan tim kemanusiaannya pun datang. Tapi, semua ini terjadi  setelah memperoleh izin dari pemerintah Indonesia.

Jadi hemat saya, berpulang ke pemerintah Indonesia. Mau izinkan atau tidak ? Persoalannya menjadi rumit karena ada perbedaan tajam antara partai penguasa (the ruling party) dan penguasanya sendiri (decision maker). Dan, makin rumit lagi ketika ada yang beranggapan, perbedaan ini adalah skenario atau drama. Terjadi di bulan ramadan. Bulan dimana Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Wallahu a’lam bi syawab.

*** Penulis, bidang Ekologi Manusia,  juga mengajar “Pendidikan Kewarganegaraan” di Universitas Tadulako.