Oleh: Kamridah / Dosen Fakultas Ushuluddin dan Adab UIN Datokarama Palu

“Eh si gendut datang!” teriak seorang siswa ketika temannya memasuki kelas. Ruangan langsung dipenuhi tawa. Sang korban hanya tersenyum paksa, meski hatinya tercabik. Bagi yang menertawakan, ini hanya “bercanda biasa”. Bagi korban, ini adalah bentuk kekerasan yang meninggalkan trauma mendalam.

Fenomena ini bukan hal baru di dunia pendidikan kita. Kekerasan verbal dalam bentuk body shaming, julukan negatif, ejekan tentang kemampuan akademik, hingga komentar diskriminatif telah menjadi bagian yang dinormalisasi dalam interaksi sosial siswa. Yang mengkhawatirkan, tidak sedikit pendidik dan orangtua yang menganggap ini sebagai “proses penguatan mental” atau “bagian dari pergaulan anak”.

Dalam budaya kita yang menghargai humor dan keakraban, seringkali terjadi salah persepsi tentang batasan yang sehat dalam bercanda. Kalimat “Ah, jangan baper dong!” atau “Kan cuma bercanda!” kerap menjadi justifikasi ketika seseorang merasa terluka oleh kata-kata kasar.

Padahal, penelitian psikologi menunjukkan bahwa kekerasan verbal, terutama yang terjadi berulang-ulang, dapat menimbulkan dampak psikologis yang sama seriusnya dengan kekerasan fisik. Anak yang secara konsisten menerima ejekan tentang penampilan fisiknya dapat mengalami gangguan citra diri, anxiety, depresi, hingga gangguan makan.

Dr. Patricia Evans dalam bukunya “The Verbally Abusive Relationship” menegaskan bahwa kekerasan verbal adalah bentuk agresi yang bertujuan untuk mengendalikan, merendahkan, atau melukai orang lain secara emosional. Ketika dilakukan dalam konteks yang tidak seimbang – seperti oleh kelompok terhadap individu, atau oleh yang lebih berkuasa terhadap yang lemah – maka ini bukanlah bercanda, melainkan bullying.

Kekerasan verbal yang dinormalisasi menciptakan lingkungan pendidikan yang tidak aman secara psikologis. Siswa yang menjadi target akan mengalami: