RABU (3/9), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jero Wacik, sebagai tersangka kasus pemerasan atas rekanan di lingkungan kementerian ini. Dari perbuatannya yang diduga dilakukan kurun 2011 hingga 2013 itu, Jero Wacik menerima hingga Rp 9,9 miliar.
Pemerasan itu, seperti dinyatakan oleh Ketua KPK, Abraham Samad, adalah untuk gaya hidup mewah sang menteri. Uang yang berasal dari kick back atau fee rekanan di lingkungan Kementerian ESDM dan penambahan dana operasional menteri digunakan untuk kepentingan pribadi dan pencitraan Jero Wacik sendiri.
Jero Wacik merupakan menteri ketiga dari Kabinet Indonesia Bersatu II yang tersungkur akibat kasus korupsi. Sebelumnya, ada Menpora Andi Alfian Mallarangeng yang tersangkut kasus proyek Hambalang dan Menteri Agama Suryadharma Ali yang terjerat kasus korupsi dana haji.
Rentetan kasus korupsi yang dilakukan oleh para petinggi negara ini benar-benar membuat kita prihatin. Kita benar-benar sesak napas atas buruknya perilaku elite negara ini yang sungguh tak bermoral!
Dalam kasus Menteri ESDM kali ini, keprihatinan juga jauh lebih mendalam. Harus kita akui, kita mesti menjunjung tinggi azas praduga tak bersalah. Tapi, tetap saja, modus pemerasan dan motifnya yang semata-mata untuk kepentingan dan kemewahan pribadi, benar-benar menohok ulu hati bangsa ini.
Polah sang menteri ini langsung mendapat kritik luas dan tajam dari berbagai elemen masyarakat. Termasuk di dalamnya Wakil Ketua KPK, Busyro Muqoddas, yang terang-terangan menyatakan perbuatannya itu sebagai bentuk ketidakpekaan terhadap kemiskinan yang masih melilit banyak rakyat negeri ini.
Memang, betapa perihnya perasaan kita atas berbagai kasus korupsi itu, khususnya dalam kasus Menteri ESDM kali ini. Dia memiliki kekayaan pribadi hingga belasan miliar rupiah. Namun, demi hasrat kemewahannya tersebut, jalan tak halalpun ditempuhnya.
Fenomena korupsi di Indonesia memang luar biasa. Paling tidak, sejarah mencatat bahwa fenomena ini mulai tumbuh subur sejak masa colonial dan berlanjut hingga sekarang. Bahkan, oleh sebagian kalangan, korupsi yang dilakukan saat ini jauh lebih massif dan destruktif dibandingkan, misalnya periode Orde Baru.
Kini, pelaku korupsi seperti tak mengenal rasa malu. Meski sudah ditangkap, masih mampu tersenyum lebar. Tak terlihat adanya ekspresi rasa bersalah sama sekali. Malahan, tak jarang membantah meski akhirnya terbukti secara sah dan meyakinkan di hadapan hokum bahwa dia telah melakukan perbuatan nista itu.
Apakah ini gejala yang kian jelas atas penyakit materialisme dan hedonisme bangsa kita, terutama sebagian besar elite negeri ini? Kemungkinan besar memang demikian. Apalagi, jika kita perhatikan bahwa perikehidupan ekonomi dan sosial bangsa kita makin memperlihatkan kondisi tersebut.
Pamer kekayaan makin terlihat meluas. Mental menerabas dalam segala hal, tak terkecuali yang kemudian mengesampingkan hukum sehingga berbuah kejahatan termasuk korupsi, masih jamak terjadi—keluhan atas perilaku aparatur pemerintah yang kerap terdengar adalah sebagian di antaranya meski masih membutuhkan pembuktian dan keberanian kita untuk memberanrasnya.
Korupsi adalah medan perang bangsa ini. Perang atas dampak negatif kekuasaan dan jeratan kemewahan. Dia menjadi pertaruhan harkat dan martabat bangsa. Dibutuhkan keberanian dan integritas untuk mengalahkannya. Perjuangan yang tidak mudah dan membutuhkan waktu yang panjang untuk mengelimnasinya.
Kini, kita sudah memulainya. Setidaknya, KPK masih bisa menjadi harapan kita bersama. Kini, harapan besar justru berada di pundak pemerintahan presiden dan wakil presiden kita yang baru, Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Program revolusi mental yang dijanjikan pasangan pemimpin negara ini harus segera terlihat implementatif mengatasi kejahatan korupsi. Apalagi, pembersihan sektor minyak dan gas dari para mafia sudah menjadi tekad keduanya. Keberhasilan membersihkan sektor ini bisa menjadi asa baru bagi rakyat akan sebuah pemerintahan yang bersih. Sekaligus pula, prestasi itu akan menjadi batu jangkar (milestone) revolusi mental bangsa ini dari berbagai jeratan materialisme dan hedonisme yang menghancurkan kita sebagai sebuah bangsa dan individu! ***
Komentar