DEWASA ini, bangsa Indonesia sedang dihadapi oleh berbagai polemik, dari yang dimulai dari sengketa pilpres hingga isu kenaikan BBM pasca terpilihnya Jokowi dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden versi Mahkamah Konstitusi.
Oleh: Arif Widyatama
Polemik mengenai kenaikkan harga BBM bukan merupakan hal baru lagi. Hal tersebut sudah terjadi dibeberapa Pemerintahan Indonesia sebelumnya dan bila terjadi kenaikkan BBM selalu diwarnai dengan demonstrasi yang dilakukan dari mahasiswa atau berbagai LSM. Protes yang dilakukan bukan tanpa alasan namun lebih disebabkan bila terjadi kenaikkan BBM selalu diikuti dengan kenaikan harga secara merata di berbagai aspek atau lebih dikenal dengan inflasi. Inflasi terjadi diakibatkan biaya yang dikeluarkan untuk biaya produksi hingga biaya angkut akan bertambah, sehingga langkah para pengusaha kecil dan mikro, petani, nelayan yang notabenenya menggunakan BBM sebagai variabel utama untuk kegiatan adalah mensiasatinya dengan menaikkan harga. Hal ini tentu saja berdampak negatif bagi pengusaha, petani, nelayan bahkah pihak yang paling merasakan kenaikkan BBM ini adalah masyarakat kaum menengah ke bawah.
Bagi para pengusaha, petani, nelayan hal ini tentu saja dapat mengurangi omset yang diterima selama ini. Konsekuensi ini harus dihadapi oleh pihak tersebut bila terjadi kenaikkan BBM, hal ini dikarenakan minat pelanggan/konsumen untuk membeli produk yang dihasilkan. Alasan ini sangat berkorelasi dengan penurunan tingkat kesejahteraan yang dihadapi oleh masyarakat kelas menengah ke bawah. Mengapa hal tersebut terjadi? Sudah menjadi suatu kepastian bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat semakin menurun, bila seluruh bahan-bahan pokok mengalami inflasi dengan asumsi tingkat pendapatan masyarakat konstan maka kebutuhan pokok yang terdiri dari pangan, sandang, dan papan juga akan sangat terbatas bahkan bisa jadi kurang dalam memenuhi kebutuhan. Bila moral masyarakat kurang makan kita akan sering melihat berbagai kasus kriminal terjadi disekitar kita.
Jensen dan Meckling (1976) dalam tulisannya yang berjudul Theory of the firm: managerial behavior, agency cost, and ownership structure bahwa adanya pemisahaan antara pengelola yang bisa disimbolkan dengan pemerintah dan pihak berkepentingan yang disimbolkan dengan masyarakat. Pemerintah selaku pengelola perusahaan berhak untuk mengambil berbagai keputusan terkait dengan negara. Tetapi, perlu diingat bahwa kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah terkait dengan Negara haruslah merupakan kebijakan yang mengayomi pihak-pihak berkepentingan yakni masyarakat. Masyarakat selaku pihak yang berkepentingan seharusnya diberikan berbagai keuntungan atas kebijakan-kebijakan yang diberikan oleh pemerintah selaku pengelola entitas dalam hal ini adalah negara. Hal ini sangat wajar karena masyarakat tanpa terkecuali merupakan pihak yang sangat berkepentingan atas negara ini termasuk kebijakan untuk menurunkan subsidi BBM. Terkait dengan kebijakan pemerintah yang akan menurunkan subsidi BBM, hal ini perlu ditinjau kembali apakah memang dengan menurunkan subsidi BBM maka membuat rakyat semakin sejahtera atau justru membuat rakyat semakin sengsara.
Setiap terjadi kenaikkan pada harga minyak dunia maka pemerintah harus menaikkan harga BBM sesuai dengan keadaan pasar walaupun minyak mentah. Bilamana pemerintah tidak mengurangi subsidi BBM maka pemerintah menganggap bahwa pemerintah akan merugi terkait dengan keadaan ini. Oleh sebab itu, opsi yang dihadapi oleh pemerintah agar pemerintah tidak merugi adalah dengan menurunkan subsidi BBM yang berakibat pada kenaikkan harga BBM. Namun bila dicermati dengan baik, kata penurunan subsidi BBM ini seolah-olah pemerintah harus menanggung keseluruhan dampak akibat kenaikkan harga minya dunia.
Terdapat kutipan yang menarik dari Kwik KianGi terkait dengan kenaikkan subsidi BBM yaitu “adanya perbedaan antara harga minyak mentah internasional dengan harga yang dikenakan kepada bangsa Indonesia.” Maka mindset rakyat bahwasanya pemerintah juga harus mengikuti harga minyak dunia untuk menutupi celah atau kekurangan tersebut. Bila kita telaah lebih lanjut pemerintah seharusnya memiliki banyak opsi selain menaikkan harga BBM. Seperti menutup kebocoran-kebocoran yang terjadi diberbagai sektor. Jangan sampai kita yang seharusnya memiliki banyak anggaran yang bisa dimaksimalkan guna mensejahterakan rakyat namun ternyata dana tersebut telah bocor dan diserap oleh orang-orang yang tidak berhak.
Tugas berat yang harus diemban oleh Presiden dan Wakil Presiden terpilih, yakni Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai orang no 1 dan 2 adalah membuat keputusan tersebut. Bila pemerintah harus membuat keputusan dengan cara mengurangi subsidi BBM maka harus ada timbal balik yang diberikan kepada rakyat terkait dengan kompensasi yang telah dibebankan pada subsidi BBM misalnya penambahan pada anggaran pendidikan, kesehatan dan sektor-sektor vital lainnya. Jangan sampai subsidi yang telah dikurangi tapi tidak ada kompensasi dari pengurangan subsidi tersebut, sehingga keputusan tersebut bila memang pemerintah harus menaikkan harga BBM maka sektor-sektor yang mengalami kebocoran juga harus ditutupi agar bila memang kenaikan BBM harus dinaikkan pada masa itu, maka harus diselingi juga dengan peningkatan pendapatan sehingga bila terjadi inflasi saat kenaikkan BBM maka hal tersebut tidak terlalu bermasalah, dikarenakan rakyat memiliki pendapatan yang cukup untuk menutupi inflasi tersebut.
Pada akhirnya keputusan ini hanya ada di Presiden RI, jika memang harus menaikkan harga BBM maka pemerintah harus mengalokasi subsidi BBM ke sektor-sektor lain sehingga kesejahtraan rakyat tetap terjamin dan bahkan meningkat. Jangan sampai kenaikkan BBM ini hanya merupakan sandiwara para pejabat pemerintah yang berusaha mengeruk kesejahteraan rakyat dengan cara mengambil anggaran yang digunakan sebelumnya untuk subsidi BBM rakyat. Sehingga alih-alih untuk menutupi defisit akibat subsidi BBM hanya ‘topeng’ untuk memperkaya para pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Penulis Adalah Dosen di STIE Panca Bhakti Palu
Komentar