SULTENG POST- Perkelahian antara dua ekor Barongsai dengan dua pemuda etnis asli Lembah Palu Kaili berawal adanya kesalahpahaman diantara mereka. Kedua pemuda Kaili merasa asing dan terusik akan kehadiran dua ekor Barongsai tersebut di lingkungan mereka.
Akibatnya, perkelahian pun tak terhindarkan. Adu kekuatan saling serang satu sama lainya pun berlangsung sengit. Kedua Pemuda Kaili sempat memukul mundur pertahanan kedua ekor barongsai tersebut, namun nyali kedua ekor barongsai itu sepertinya tidak dapat diremehkan. Keduanya sempat terguling dan bangkit kembali mengipas-ngipaskan ekornya tanda emosi yang tak terbendung lagi.
Kedua ekor barongsai bangkit terbang dan berhasil mendekati kedua pemuda itu. Kembali perkelahian pun terjadi. Parang dan tombak kedua pemuda itu menghujam ke tubuh dua ekor barongsai itu, begitu pula gigitan dan cakar kedua ekor barongsai juga terus menghujani kedua tubuh pemuda itu.
Suara rasa sakit kedua pemuda dan kedua ekor barongsai itu terdengar lirih, kedua kubuh itu pun masing-masing mundur. Emosi yang awalnya yang menguasai kedua kubu itupun juga berangsur-angsur surut, hingga hilang sama sekali. Setelah hilang emosi masing-masing, keduanya pun menyadari jika mereka telah diperbudak emosi serta hanyalah kesalapahaman dan ketidakketahuannya atas kebudayaan dari kedua belah pihak sehingga menyebabkan perkelahian. Akhirnya mereka pun memilih berdamai dan hidup berdampingan.
Itulah diskripsi penampilan teater kolaborasi dua kebudayaan antara kebudayaan Tionghoa dan Kaili di penutupan Kongres Masyarakat Kaili pada Selasa (28/10) malam di Millenium Waterpark Palu.
Pengurus Event Organizer Sarara Production, Hidayat, teater tersebut menggambarkan kehidupan pertumbuhan asimilasi kebudayaan yang ada masyarakat Kota Palu.
Berawal Lembah Palu ini hanya didiami oleh masyarakat asli Suku Kaili, namun dengan perkembangan zaman, sejumlah masyarakat luar masuk ke Lembah Palu dan berdomisili sekaligus membawa kebudayaan mereka. Kedatangan masyarakat non etnis Kaili tersebut tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat lokal.
“Jika ada perbedaan tentunya di situ ada riak-riak terjadi, namun itu tidak menjadikan adanya perpecahan yang berarti, karena etnis Kaili pada dasarnya adalah terbuka dan ramah. Riak-riak terjadi hanya disebabkan ketidakketahuan mereka akan budaya itu, namun jika mereka sudah berbaur satu sama lainnya tentunya sudah saling kenal-mengenal dan akhirnya saling menghargai satu sama lainnya,”jelasnya.
Kata Hidayat, untuk membuktikan Suku Kaili itu terbuka dan ramah dapat dilihat saat ini. Kota Palu bukan hanya dua atau tiga etnis yang mendiami saat ini, namun hampir semua etnis di Nusantara ini ada di Kota Kaledo dan sudah berdomisili hingga beranak cucu, dan hidup berdampingan serta rukun. AMI
Komentar