SULTENG POST – Vox Populi Vox Dei – Suara Rakyat adalah Suara Tuhan. Suatu pernyataan yang cukup populer di masa pencerahan (renaesance), ketika rakyat mulai berani menggugat hegemoni penguasa absolut. Pada saat itu, slogan perlawanan ini memang cukup mengena. Sebab yang dihadapi adalah penguasa otoriter yang menyamakan dirinya dengan Tuhan, atau merasa mendapat hak istimewa dari Tuhan untuk menguasai segenap aspek kehidupan manusia.
Oleh : Irwan
Mungkin slogan tersebut sudah tidak lagi popular saat ini karena suara rakyat diamputasi oleh kepentingan elit DPR. Suara rakyat pada 10 tahun terakhir memang sangat menentukan arah bangsa dengan adanya pemilihan langsung baik pilpres, pileg maupun pilkada.
Dengan ditetapkannya RUU Pilkada oleh DPR RI melalui voting 26 September dini hari beberapa hari yang lalu, pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD. Kini Rakyat sudah diabaikan bahkan diamputasi hak politiknya oleh para anggota DPR.
Yah, DPR kini dengan leluasa mengobrak abrik kebijakan dan aturan negara ini, bahkan seenaknya mencabut “nyawa” politik pemilihnya.
Kekecewaan pun diutarakan oleh beberapa calon kepala daerah khusunya Calon walikota yang telah menyatakan akan bertarung pada konstalasi di tahun 2015. Sebut saja Adha Nadjemuddin wartawan Kantor berita nasional ANTARA yang menuliskan keluh kesahnya di media social Facebook.
“Kalau mau dibilang ini keluh kesah, yah boleh juga. Terserah persepsi kita masing-masing. Berbeda pandangan itu hal biasa, apalagi dalam politik dan demokrasi. Jangankan berbeda pendapat, menelikung dan menikam kawan dengan pisau politik pun orang lakukan kendati melanggar etik hanya untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Begitu dinamisnya politik di Indonesia dalam 15 tahun terakhir,” ungkap Adha di akun facebook miliknya.
Sebelumnya, Adha juga pernah memberikan pendapatnya di media ini mengatkan bahwa demokrasi kita terancam kembali ke rezim orde baru, sehingga praktik-praktik monopoli elit pada era orde baru kembali kuat lagi pada era ini. Sebab tidak ada jaminan dengan pemilihan di DPRD tidak ada transaksi politik uang dan mengokohkan kekuasaan elit semata. Dengan dikembalikannya pemilihan di DPRD akan menutup ruang bagi rakyat yang memiliki potensi menjadi pemimpin tanpa harus menjadi pengurus partai politik atau diusung melalui partai politik.
Selain itu, Adha juga menjelaskan terkait potensi munculnya apatis terhadap demokrasi dan politik.
“Hal ini berbahaya bagi kelangsungan hidup berbangsa karena semakin lemahnya kontrol publik terhadap pemerintah. Kondisi ini juga bisa memancing tumbuh suburnya apatisme masyarakat terhadap proses-proses pembangunan yang partisipatif. Untuk menjawab dampak negatif pilkada langsung seperti efisiensi pembiayaan bukan satu-satunya solusi mengembalikan pemilihan ke DPRD. Masih banyak cara yang bisa dilakukan, misalnya dengan intervensi negara melalui proses pemilihan serentak. Pemilihan presiden dan kepala daerah bisa dilangsungkan satu paket. Sehingga di Indonesia terdapat dua rezim pemilu yakni pemilu legislatif dan pemilu presiden dan kepala daerah. Dengan demikian anggaran bisa ditekan,” ungkapnya penuh solutif.
Sementara itu, Ketua DPC Hanura Hadiyanto Rasyid yang juga bakal bertarung di Pilwakot 2015 jelas-jelas memiliki partai politik juga tidak sepakat, Dia berpendapat bahwa DPRD tidak bisa mewakili aspirasi politik masyarakat
“Ketika kepala daerah dipilih DPRD maka kepala daerah hanya akan merawat anggota DPRD. Jadi partai itu besar karena masyarakat,” ungkapnya.
Tokoh yang akan maju Walikota Palu dari jalur independen, Dedi Irawan dengan mengusung Palu Baru berkata “Kemunduran, hak rakyat dikebiri, kemajuan berarti kesetaraan termasuk hak rakyat untuk memilih” ujarnya.
Sementara itu, Mantan Komisioner Komnas HAM RI Ridha Saleh yang memiliki jargon bekerja untuk kemulian rakyat berkata “ini pembajakan terhadap hak-hak kontitusi rakyat, hak pilih di istimewakan dalam hak asasi manusia, hak memilih adalah hak yang diistimewakan sebagai WNI. Saya menolak dipilih melalui DPRD, hak pilih bentuk partisipasi politik yang bisa dinikmati secara langsung, yang menyangkut aspirasi dan hati nurani serta bentuk kebebasan ekspresi yang melekat pada individu orang,”
Akankah DPR terus-menerus mempertahankan egoism kekuasaanya? Akankah DPR terus menerus membunuh hak-hak konsetuennya dan menggunakan kekuasaanya yang “tanpa batas” tersebut.
Yah, demokrasi kini kekuasaan ada di tangan DPR, karena suara DPR adalah suara Tuhan. slogan baru untuk menggambarkan model demokrasi yang dibangun oleh elit politik yang tak bertanggung jawab.***
Komentar